Indonesia : Harga Mati !
Oleh : Puti Halimah, Ilmu Kesejahteraan Sosial 2011
Indonesia, untuk saya merupakan sebuah karya agung Sang pencipta dengan segala “anugerahNya” : orang kaya yang perutnya makin buncit karena kekayaan atau orang miskin yang makin kurus karena kemiskinannya,luar biasa. Kenyataan sosial yang kadang membuat miris, namun tak ayal ‘kita’ yang disebut agent of change cuma bisa melongo dan komentar sana-sini tanpa bertindak untuk mengubah kenyataan tersebut. Satu bulan lalu, di salah sebuah stasiun TV swasta, saya melihat kenyataan lain bahwa jika mau pintar tapi tidak punya uang maka bersiaplah untuk mati, kisah ini bermula pada seorang gadis kecil berusia 10 tahun yang rela berjualan asongan di atas kereta api di stasiun Jatinegara Jakarta Timur, malam hari kira-kira satu bulan lalu,gadis itu nekat meloncati gerbong atas kereta api untuk “kejar setoran” saat kereta tersebut mulai berjalan, alhasil gadis itu tewas mengenaskan dengan kepala hancur terlindas kereta api diselingi tatapan ngeri setiap orang yang melintas, setelah diusut alasan gadis itu untuk berjualan asongan di kereta api adalah untuk membiayai sekolah dirinya serta adik-adiknya. Lain lagi kisah yang sudah tidak asing di telinga kita, Gayus Tambunan, lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara itu, konon ceritanya bisa dengan mudah keluar-masuk penjara tak lain dengan bantuan uang yang dimilikinya dari hasil mencuri secara baik-baik uang rakyat Indonesia yang konon ceritanya tidak tahu apa-apa. Miris dua kisah yang berbeda berbicara kenyataan di Indoensia yang sama-sama mengedepankan masalah uang dalam konteks yang berbeda : yang satu kekurangan uang dan yang satu lagi kelebihan uang. Teringat kembali di lain kenyataan tentang buruknya pelayanan transportasi, perebutan pulau dengan negara tetangga, korupsi wisma atlet, kasus Malinda Dee, tawuran antar pelajar dan kenyataan lain yang mungkin jika saya tuliskan 7 hari 7 malam belum tentu selesai
Pertanyaannya adalah siapa yang harus disalahkan dari kenyataan-kenyataan tersebut? Memang siapa pemilik Indonesia, yang dengan tega mempersilahkan kenyataan-kenyataan tersebut mendarah daging dan menjadi suatu hal yang lumrah terjadi dan dapat disaksikan tiap hari di televisi? Sebenarnya jawabannya cuma satu, Indonesia milik kita, dan kita pemiliknya yang seharusnya bertanggung jawab atas semua kenyataan yang secara tidak sengaja mungkin telah terjadi, dan bertanggung jawab memperbaikinya. Indonesia, bukan hanya sekadar milik para pemimpin negara yang bekerja di istana, bukan pula hanya milik mereka yang bernama mahasiswa atau milik para veteran pahlawan yang dulu sempat membantu Indonesia untuk merdeka, Indonesia milik kita, kita yang merasa memilikinya.
Indonesia harga mati, sekalipun berjuta paparan tentang kenyataan yang membuat meringis,tapi Indonesia tetap Indonesia yang tidak ada seorangpun yang boleh mengubahnya, kini dan nanti. Segala ideologi baru yang naik daun dewasa ini, tidak ada yang bisa mengubah pancasila, dan pasti kita sebagai pemiliknya harus benar-benar meyakinkan diri bahwa Indonesia tetap akan menjadi Indonesia,selamanya. Dengan rasa kepemilikan Indonesia, terkhusus bagi saya, bukan masalah untuk berbeda, toh semoyan kita tetap bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tapi tetap satu juga, yang jelas bukan mempersalahkan pula Indonesia milik siapa, namun lebih menitikberatkan pada mau dibawa kemana Indonesia, bukan mempermasalahkan siapa yang mampu mengubah Indonesia, tapi mempermasalahkan bagaimana cara mengubahnya. Indonesia tetap harga mati, sekalipun para pemiliknya sudah kehabisan ide untuk memperbaiki atau menyejahterakannya, sekalipun para pemiliknya sudah mual untuk berkorban, saya percaya Indonesia tetap karya agung Sang Maha Pencipta untuk para pemiliknya. Sekali lagi, Indonesia tetap Indonesia
0 komentar: